Selasa, 30 Desember 2008

Senin, 24 Maret 2008

RUMAH ADAT KUDUS





RUMAH ADAT KUDUS




Bagi yang tertarik hub: 081325342169 (Firdaus Arief )


***

HISTORY


Kudus merupakan sebuah kota di Propinsi Jawa Tengah, Indonesia, yang terletak di antara beberapa daerah, yaitu : Jepara, Demak, Pati dan Purwodadi serta di jalur perjalanan dari Semarang Ibukota Jawa Tengah menuju ke arah Surabaya (lokasinya bisa dilihat pada peta lokasi). Menurut cerita, nama Kudus berasal dari kata Al-Quds, yang berarti kesucian.

Riwayat Kota Kudus tidak bisa terlepas dari nama Sunan Kudus sebagai pendirinya yang merupakan salah satu dari Wali Songo, penyebar Agama Islam di tanah Jawa pada waktu itu. Sebagai peninggalannya, Kudus memiliki sebuah artefak yang terkenal yaitu Menara Kudus, yang berbentuk seperti Candi, serta Masjid Menara Kudus yang dibangun oleh Sunan Kudus pada sekitar tahun 1685 M.

Di Kudus selain terkenal sebagai Kota Wali, karena terdapat dua makam Wali Songo, yaitu selain Sunan Kudus dan juga terdapat makam Sunan Muria. Kudus juga dikenal sebagai Kota Kretek, karena banyaknya pengusaha rokok kretek di daerah tersebut, serta bisa juga disebut sebagai kota industri disebabkan oleh berkembang pesatnya industri di daerah tersebut seperti industri rokok, kertas, cetak-mencetak, kerajinan, bordir, makanan, dan lain-lain.

Kali Gelis yang mengalir di tengah-tengah Kota Kudus membagi wilayah Kudus menjadi dua bagian, sehingga terdapat dua penyebutan nama untuk dua bagian wilayah tersebut yakni Kudus Kulon (barat) dan Kudus Wetan (timur). Pada zaman dahulu menurut cerita, wilayah Kudus Kulon, didiami oleh para pengusaha, pedagang, petani, dan ulama, sedangkan Kudus Wetan dihuni oleh para priyayi, cendekiawan, guru-guru, bangsawan, dan kerabat ningrat.

Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, secara fisik ternyata wilayah Kudus Kulon yang mayoritas penduduknya merupakan para pengusaha dan pedagang tampak lebih maju jika dibandingkan dengan Kudus Wetan. Dengan peningkatan dalam segi finansial, mereka membangun rumah-rumah adat yang penuh dengan ukir-ukiran yang membedakannya dengan rumah-rumah adat sebelumnya. Itulah sebabnya bangunan rumah adat yang indah-indah yang belakangan disebut sebagai Rumah Adat Kudus hanya terdapat di wilayah Kudus Kulon. Rumah Adat Kudus yang sebagian besar dibangun sebelum tahun 1810 M, pernah mengalami masa kejayaannya dan menjadi simbol kemewahan bagi pemiliknya pada waktu itu. Lingkungan wilayah Kudus Kulon terbentuk dengan ciri keberadaan Rumah Adat Tradisional Kudus tersebut.

Pada kenyataannya, sejarah perkembangan Kudus banyak dipengaruhi oleh kebudayaan asing seperti Hindu, Cina, Persia (Islam) dan Eropa yang masuk ke kawasan Kudus dalam waktu yang cukup panjang. Kebudayaan-kebudayaan asing tersebut juga mempengaruhi bidang arsitektur pembuatan rumah adat di daerah Kudus. Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa motif mewarnai ukiran rumah adat Kudus. Diantaranya Motif Cina yang diwujudkan dalam bentuk ular naga, Motif Persia atau Islam yang berupa bunga melati maupun motif khas Kudus yang berupa bunga teratai, dan Motif Kolonial dalam bentuk sulur-suluran, mahkota, bejana, dan binatang. Semua motif yang ada itu erat kaitannya dengan pengaruh budaya yang masuk ke Kudus.

Seni Ukir Kudus banyak didominasi oleh bunga teratai untuk memaknai Agama Hindu. Sunan Kudus memperkenalkan seni ukir yang didominasi oleh bunga melati yang satu dengan yang lain saling berhubungan. Makna Melati adalah untuk menggambarkan bahwa Agama Islam yang kala itu masih sedikit pengikutnya adalah seperti melati yaitu kendati kecil, mampu memberikan keharuman disekitarnya. Melati dibuat saling berhubungan yang dimaksud adalah, agar semua orang disekitarnya dapat hidup rukun walaupun berbeda agama.

Dalam perkembangan pembuatan Rumah Adat Kudus, pengaruh unsur-unsur kebudayaan sangat kental memaknai bentuk dan fungsi dari masing-masing bagiannya sehingga dapat dipilah-pilah, sebagai berikut :


  1. Pada ruang bagian dalam yang disebut gedongan dijadikan sebagai mihrab, tempat Imam memimpin shalat yang dikaitkan dengan makna simbolis sebagai tempat yang disucikan, sakral dan dikeramatkan. Gedongan juga sebagai tempat yang disucikan, sakral, dan dikeramatkan dipakai untuk menyimpan benda pusaka serta harta dari pemiliknya. Gedongan merangkap juga sebagai tempat tidur utama yang dihormati dan pada waktu-waktu tertentu dijadikan sebagai ruang tidur pengantin bagi anak-anak pemiliknya.


  1. Ruang depan yang disebut Jogo Satru disediakan untuk umat dan terbagi menjadi dua bagian, sebelah kiri untuk jamaah wanita dan sebelah kanan untuk jamaah pria. Masih pada ruang Jaga Satru di depan pintu masuk terdapat satu tiang di tengah ruang yang disebut tiang keseimbangan atau soko geder, kecuali sebagai simbol kepemilikan rumah, tiang tersebut juga berfungsi sebagai pertanda atau tonggak untuk mengingatkan pada penghuni tentang ke-Esaan Tuhan yaitu hanya satu yang wajib disembah.


  1. Begitu juga di ruang dalam terdapat empat tiang utama yang disebut saka guru melambangkan empat hakikat kesempurnaan hidup yaitu amarah, luamah, supiah dan mutmainah. Keempat soko guru tersebut juga ditafsirkan sebagi hakikat dari sifat nafsiyah, salbiyah, mangani, dan maknawiyah. Di atas keempat tiang tersebut terdapat tumpang sari sebagai pengerat yang jumlahnya selalu ganjil dan jumlah yang dimaksud selalu membawa makna. Jika tiangnya berjumlah lima melambangkan lima waktu shalat, sedangkan yang berjumlah tiga mengingatkan pada kita tentang kehidupan alam arwah, fana, dan akhirat.


Rumah sebagai media dakwah diperlihatkan melalui nilai-nilai ke Islaman yang diwujudkan dalam bentuk ukiran-ukiran pada partisi antara ruang depan dengan ruang dalam yang disebut "gebyok". Elemen penguat gebyok berupa dua batang tiang yang pada bagian atasnya dibuat stilisasi dari telapak tangan umat saat melakukan shalat pada posisi takbiratul ihram yang selalu disertai dengan menyerukan kata-kata Allahu Akbar, yaitu Allah Yang Maha Besar.

Ukiran-ukiran pada gebyok meskipun merupakan perpaduan dari berbagai pengaruh, tetapi visualisasinya teroutopsi pada Kaligrafi Arab yang bertemakan ayat-ayat Al Quran dan Hadits. Masih banyak lagi pesan-pesan dakwah yang terpatri pada ragam hias bangunan dan selalu berkisar pada segi-segi, pandangan hidup dan sikap hidup manusia dalam melakukan kewajibannya di dunia untuk kelak sebagai bekal di akhirat.


Rumah Adat Sebagai Karya Seni *)


Rumah Adat di Kudus kalau diperhatikan secara seksama semakin lama semakin mengagumkan, karena sangat unik dan indah pada eksterior maupun interiornya penuh dengan ornamen yang dikerjakan oleh para seniman dengan ketrampilan tinggi. Dasar kelahirannya penuh dengan rasa dan cipta yang terwujud dalam bentuk-bentuk yang sangat indah dan tidak melanggar kaidah-kaidah keagamaan. Lewat kegiatan seni memungkinkan penambahan atmosfer terhadap kebenaran metafisik paling dalam yang dapat dilakukan.

Rumah adat di Kudus jika ditinjau dari Teori Bernard Rudofsky termasuk karya arsitektur komunal yang lebih mengutamakan pada unsur seni yang dilakukan secara terus-menerus dan berkeseimbangan secara spontan oleh seluruh masyarakat dengan tradisi yang sama dari masa ke masa dan mengikuti kebiasaan ritual yang berlaku pada masyarakat itu sendiri. Seni bukan sekadar peniruan dan penerapan lahiriah terhadap bentuk eksternal semata, melainkan sebagai unsur spiritual yang dicapai lewat estetika. Karya seperti yang dimaksud termasuk apa yang disebut arsitektur tanpa arsitek.

Konstruksi rumah dibuat completely knock down sehingga mudah dibongkar pasang dan memungkinkan ornamen dari tiap bagian bisa dikerjakan secara rinci dan penuh kerumitan. Ragam hiasnya diilhami oleh keberhasilan relief candi dan pengerjaannya dibimbing oleh pengrajin Cina dari daerah Sun Ging. Adapun pemiliknya adalah para pengusaha dan pedagang yang kaya. Ragam hias bangunan dibuat pada seluruh komponen dengan sangat berlebihan dan tidak membiarkan sedikit pun bidang yang kosong dan hasilnya sangat optimum, penuh makna, simbol dan gaya yang saling kait-mengait antara gaya Jawa-Gujarat-Persia-Cina dan Kolonial dalam bentuk sulur-suluran, mahkota, bejana, dan binatang.

Pengaruh Wali Songo dalam pembentukan ragam hias sangat dominan meskipun dalam agama terdapat larangan perwujudan makhluk hidup, tetapi mereka memberi kesempatan toleransi yang besar berupa akulturasi dan asimilasi secara evolutif sehingga terciptalah bentuk-bentuk figuratif yang indah hasil imajinasi dari bentuk-bentuk organisme hidup. Apresiasi seni dari para Wali Songo yang penuh toleransi juga banyak dilakukan oleh khalifah di Arab sejak zaman Abbassiyah. Istana Harun Al-Rasyid di Bagdad, Istana Al-Mutasin di Samara, Masjid Cordoba di Spanyol juga dihias dengan fresco berbentuk singa, burung rajawali, orang berkuda, dan makhluk hidup lainnya. Seni lukis terwujud di permadani, keramik, dinding, dan pintu-pintu mencapai taraf yang tinggi sehingga menjadi kekaguman dunia.

Seni ornamentasi tampak menyatu dengan bangunan induk, karena penciptaannya sangat memperhatikan segi-segi, fungsi, struktur, ritualisasi, simbolisasi, dan estetik yang secara dekoratif ikut meningkatkan daya tarik bagi mereka yang memandangnya. Kekhasan adat lokal dalam tata cara hidup melalui perilaku arsitektur merupakan gambaran jati diri dari Rumah Adat Kudus yang berbeda bentuk dan gaya dari bangunan joglo yang ada di Jawa pada umumnya, kecuali pada bentuk atap dan soko guru sebagai penyangga tumpang sari yang penuh makna dan terukir begitu indah.



Rumah adat sebagai lambang martabat *)

Menurut cerita tutur selanjutnya disebutkan bahwa rumah-rumah adat yang begitu indah rata-rata telah berumur lebih dari 100 sampai 200 tahun. Dengan mendasarkan pada usia bangunan, maka apabila kita akan membahasnya harus menggunakan pisau analisis yang berlaku pada zamannya.

Menurut Prof Berger struktur masyarakat Jawa pada abad ke-19 dan 20 dapat dibedakan dalam beberapa golongan yaitu; bangsawan, pangreh praja atau priyayi, pedagang, dan petani. Politik kolonial saat itu menanamkan politik emansipasi yang bertujuan membebaskan individu dari ikatan sosial lama yang dianggap membelenggu demi untuk kebebasan dan kepastian hukum yang berlaku terutama dalam ikatan feodal. Perkembangan individual masyarakat diarahkan pada pembentukan kepribadian, semangat berusaha agar kemakmuran dapat segera berkembang.

Singkat kata, penduduk Kudus yang dikategorikan sebagai penduduk pesisiran, taraf hidupnya jauh lebih maju jika dibanding dengan para bangsawan dan priyayi saat itu, tetapi dalam hidup keseharian mereka kurang mendapat penghargaan dan penghormatan di masyarakat. Mata pencarian sebagai pedagang dianggap rendah dan tidak terhormat, maka sebagai kompensasi penduduk Kudus Kulon yang mayoritasnya pedagang mewujudkannya dalam bentuk rumah yang dibuat sangat megah dengan harapan agar mereka juga berhak untuk mendapatkan kehormatan seperti layaknya para bangsawan. Ketinggian lantai rumah dibuat berundak untuk menyesuaikan dengan strata sosial seperti yang dilakukan oleh golongan Ningrat. Tamu dari kaum petani diterima di ruang depan, untuk golongan priyayi diterima di ruang tengah, sedang bupati dan orang Belanda diterima di ruang gedongan. Sekeliling rumah dibuat tembok tinggi sama seperti bentuk keraton.

Rumah-rumah adat yang semula dimiliki oleh pedagang Cina Islam ditiru dan dikembangkan dengan kaidah-kaidah Jawa dan ke Islaman seperti yang dianut oleh raja-raja di pedalaman. Seluruh komponen rumah diukir penuh dengan ornamen dari berbagai gaya seperti halnya di istana oleh para pengukir dengan keterampilan tinggi dan hasilnya sangat menakjubkan, sehinggga sepantasnya bila mendapatkan pengakuan kehormatan seperti layaknya kaum priyayi dan bangsawan. Bagi mereka, rumah adalah simbol status atau martabat si pemilik yang sudah sepantasnya bila mendapatkan penghormatan dan penyetaraan


(Sumber :* J Pamudji Suptandar, Guru Besar Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Trisakti)


DIAMETER UKURAN ORGAN RUMAH


Pintu Utama : Lebar = 56 cm

Tinggi = 191 cm

Tebal = 3 cm


Pintu Geser : Panjang = 175 cm

Tinggi = 188 cm Tebal = 3,5 cm


Soko Gebyok Depan


- Kanan : Panjang = 16 cm

Lebar = 11 cm

Tinggi = 190 cm


- Kiri : Panjang = 15 cm

Lebar = 12 cm

Tinggi = 190 cm



Gebyok Depan


- Kanan : Panjang = 202 cm

Tinggi = 188 cm Tebal = 3,5 cm

- Kiri : Panjang = 202 cm

Tinggi = 188 cm Tebal = 3,5 cm


Soko Pintu Depan : Panjang = 15 cm

Lebar = 11 cm Tinggi = 190 cm


Penyangga Blandar Depan :

Panjang = 90 cm

Lebar = 17 cm

Tebal = 12 cm

Blandar Teras : Panjang = 925 cm

Lebar = 6,5 cm

Tinggi = 8 cm


Usuk Teras : Panjang = 120 cm

Lebar = 7 cm

Tebal = 4 cm

Usuk Ruang Tamu

- Panjang : Panjang = 215 cm

Lebar = 6,5 cm

Tebal = 5 cm

- Pendek : Panjang = 135 cm

Lebar = 6,5 cm

Tebal = 5 cm




Pintu Dalam : Lebar = 60,5 cm

Tinggi = 238 cm Tebal = 3,5 cm


Soko Pintu Dalam : Panjang = 24 cm

Lebar = 11 cm

Tinggi = 204 cm




Gebyok Dalam

- Kanan.1 : Panjang = 164 cm

Tebal = 4,5 cm

Tinggi = 203 cm

- Kanan.2 : Panjang = 165 cm

Tebal = 4,5 cm

Tinggi = 203 cm


Gebyok Dalam

- Kiri.1 : Panjang = 164 cm

Tebal = 4,5 cm

Tinggi = 203 cm

- Kiri.2 : Panjang = 163 cm

Tebal = 4,5 cm

Tinggi = 203 cm




Gebyok Dalam

- Samping kanan : Panjang = 113 cm

Tebal = 6 cm

Tinggi = 203 cm


Soko Gebyok Dalam

- Samping kanan : Panjang = 11 cm

Tebal = 11 cm

Tinggi = 203 cm



Gebyok Dalam

- Samping kiri : Panjang = 113 cm

Tebal = 6 cm

Tinggi = 203 cm


Soko Gebyok Dalam

- Samping kiri : Panjang = 11 cm

Tebal = 11 cm

Tinggi = 203 cm


Gebyok Dalam

- Samping kiri : Panjang = 113 cm

Tebal = 6 cm

Tinggi = 203 cm


Soko Gebyok Dalam

- Samping kiri : Panjang = 11 cm

Tebal = 11 cm

Tinggi = 203 cm





Soko Gebyok Dalam


- Kecil : Panjang = 15 cm

Lebar = 10 cm

Tinggi = 204 cm

- Besar : Panjang = 20 cm

Lebar = 8,5 cm

Tinggi = 204 cm




Penyangga Blandar Dalam :

Panjang = 140 cm

Lebar = 18 cm

Tinggi = 24 cm

Blandar Ruang Tamu :

Panjang = 925 cm

Lebar = 18 cm

Tinggi = 12 cm



Soko Papat : Panjang = 14 cm

Lebar = 14 cm

Tinggi = 300 cm






Umpak Soko : Panjang = 40 cm

Lebar = 40 cm

Tebal = 30 cm




Tumpang Songo :


Ukuran luas = 400 cm x 200 cm

Panjang = 400 cm

Lebar = 18 cm

(tiap tumpang bertambah 7 cm)

Tinggi = 18 cm

(tiap tumpang bertambah 7 cm)


Motif ukiran “ Bunga MELATI


Penunjukan angka tahun pembuatan :

  1. Menunjukkan angka 1

  2. Menunjukkan angka 0

  3. Menunjukkan angka 3

  4. Menunjukkan angka 0

  5. Menunjukkan huruf H


Dari keterangan di atas dapat diketahui tahun pembuatan Gebyok ini adalah 1030 H

Sabtu, 23 Februari 2008

Keris Bertuah


Keris. Dalam tradisi Jawa khususnya, mempunyai makna yang sangat dalam. Baik dalam kultur sebagai pewarisan budaya leluhur, konon, keris juga memiliki keunikan dan juga mempunyai kemampuan yang sangat luar biasa atau betuah. Keris-keris bertuah inilah, yang sampai sekarang, di zaman modern ini, tetap diburu oleh banyak orang. [G]